4 Kelompok Pendidik Cara Daring

Covid-19 telah berhasil memaksa lembaga pendidikan di Indonesia untuk masuk dengan segera ke pembelajaran daring (online). Secara serentak di hampir seluruh kota Indonesia, sekolah dan perguruan tinggi harus memberlakukan pembelajaran daring. Namun pasti kualitasnya tidak akan sama. Secara garis besar setidaknya terdapat 4 kelompok pendidik yang saat ini sedang memanfaatkan teknologi dan pedagogi sebagai sarana untuk pembelajaran daring, yang masing- masing akan menyajikan kualitas pengalaman belajar yang berbeda-beda.

Kelompok 1

Pendidik di kelompok ini melakukan pembelajaran daring sebatas mengirim bahan ajar melalui media sosial yang populer seperti Whatsapp (WA) atau melalui email. Ini biasanya dilakukan oleh pendidik yang masih gagap terhadap teknologi dan terbatas dalam pemahaman pedagoginya. Batas kemampuan mengajar dengan menggunakan teknologi hanya sebatas berkomunikasi di media sossial sekelas WA. Sebagai akibatnya pengalaman sekolah yang sangat beragam hanya tergantikan oleh komunikasi melalui WA atau email. Ini tentunya dapat membuat peserta belajar merasa bosan dan sangat merasakan kehilangan suasana sekolah seperti yang mereka nikmati sebelumnya.

Kelompok 2

Pendidik di kelompok yang kedua ini melakukan pembelajaran melalui platform seperti Moodle, Edmodo, Google Classroom, Schoology atau platform lain yang sejenis. Pendidik di level 2 paham tentang LMS (Learning Management System) dan dapat memanfaatkan fitur-fitur yang ada misalnya untuk melakukan kuis. Namun demikian komunikasinya yang terjadi masih sebatas bertukar catatan saja dan tidak ada interaksi yang langsung secara verbal, atau secara verbal dan visual sekaligus misalnya melalui video call. Peserta didik mungkin akan merasakan sebuah pengalaman baru dan berbeda untuk beberapa saat namun dalam jangka panjang bila hanya seperti ini saja maka peserta belajar akan kehilangan suasana sosial dalam belajar.

Kelompok 3

Pendidik di kelompok ini sanggup mengelola pembelajaran melalui platform LMS (Learning Management System) seperti di atas dan juga mengkurasi bahan ajar yang terdapat di internet seperti di Ruangguru, Zenius dll. serta secara sengaja menciptakan interaksi langsung yang terjadwal dengan peserta didik secara sinkron. Di kelompok ini pendidik dengan peserta didik berkomunikasi dan berinteraksi langsung dengan mendengar suara, atau suara dan gambar walaupun itu dilakukan melalui teknologi. Untuk para pendidik yang masuk di kelompok 3 ini interaksi sosial menjadi agenda dari rencana pembelajaran.

Berbagai penelitian memang telah memperlihatkan bahwa interaksi sosial adalah titik lemah pembelajaran daring (Protopsaltis & Baum, 2019)

Oleh karena seyogianya menjadi pendidik yang masuk di dalam kelompok 3 ini menjadi syarat minimum untuk menjadi pendidik di dalam pembelajaran daring.

Kelompok 4

Pendidik di kelompok 4 ini melakukan pembelajaran daring seperti kelompok 3 namun mereka menambahkannya dengan instruksi belajar yang lebih bervariasi termasuk menjadikan dirinya sendiri sebagai sumber belajar dengan cara membagikan rekaman suara atau video yang diproduksi sendiri untuk keperluan pembelajaran daring. Pendidik dapat menghasilkan instruksi-instruksi yang memandu peserta didik untuk bisa melakukan collaborative learning dan experiential learning secara mandiri di tempat masing-masing.

Mereka terkoneksi dengan peserta didik dan bisa menghidupkan suasana belajar walau itu terjadi dalam jarak jauh dan bukan di dalam suasana sekolah. Mereka bisa memandu peserta didik untuk melihat rumahnya dan keluarganya sendiri sebagai sebuah laboratorium ilmu pengetahuan alam dan juga laboratorium untuk ilmu sosial. Peserta didik akan merasa bahwa belajar jarak jauh itu tidak terbatas hanya ketika mereka membaca, menonton, mencatat dan mengerjakan tugas di depan ponsel atau laptopnya. Peserta didik yang memiliki pendidik dari kelompok 4 ini adalah peserta didik yang beruntung karena ditengah pandemik yang memaksa mereka di rumah saja, mereka tetap dapat menikmati pengalaman belajar yang bermutu dan juga asyik.

Pendidik di kelompok 4 ini berhasil mewujudkan pesan Ki Hajar Dewantara yaitu menjadikan setiap rumah jadi sekolah dan setiap orang jadi guru.

Sebagai kesimpulannya, momen “paksaan” masuk ke pembelajaran daring ini janganlah dipandang hanya sekedar solusi sementara untuk pandemik Covid-19 tetapi seyogyanya kita bisa manfaatkan jadi sebuah batu pijakan untuk melakukan lompatan katak menuju transformasi digital dunia pendidikan Indonesia.

Bagaimana caranya? Mari bergerak dan memastikan diri untuk menjadi pendidik yang berada di kelompok 4. Semakin banyak pendidik Indonesia yang berada di kelompok 4 ini maka kita akan makin siap melakukan “lompatan katak” dalam meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan.

Kita bersama akan membebaskan diri dari kesulitan mendiseminasi pendidikan berkualitas dari keterbatasan lokasi dan waktu. Bangunan sekolah dan jam sekolah bukan lagi satu-satunya cara untuk menikmati pembelajaran yang berkualitas. Inilah salah satu contoh dampak dari integrasi teknologi ke dalam model bisnis pendidikan yang dapat mengakselerasi gerak kita mencapai tujuan pendidikan.

Mari bersama kita ubah tantangan ini jadi peluang dengan memanfaatkan “momen” pembelajaran daring untuk melakukan quantum leap untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

Pustaka

Protopsaltis & S, Baum (2019), Does Online Education Live to Its Promise: A Look at the Evidence and Implications for Federal Policy. Diunduh dari https://mason.gmu.edu/~sprotops/OnlineEd.pdf

The Future State Universities (2011), Research on the Effectiveness of Online Learning: A Compilation of Research on Online Learning. Diunduh dari https://www.immagic.com/eLibrary/ARCHIVES/GENERAL/ACPTR_US/A110923F.pdf

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *